Sunday, January 29, 2012

Jangan Keliru Pahami Anak Hiperaktif

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - "Saya pernah sampai menangis di depan kelas, gara-gara anak didik saya ramai terus, tak mau diam. Apalagi ada seorang anak yang tak pernah mau duduk di kursi. Kerjaannya usil ke teman-teman lainnya, tugas tidak pernah dikerjakan, kalau saya bilangin juga tak pernah nurut," keluh seorang guru SD di Yogyakarta yang enggan disebutkan namanya.

Kejadian demikian terus terjadi berminggu-minggu, hingga akhirnya ia bisa sedikit menguasai kelas dengan metode pembelajaran yang lebih keras. "Saya terapkan punish and reward, dan saya sekarang lebih tegas," ungkapnya kepada Tribun, Senin (14/2/2011).

"Kalau dulu banyak saya diamkan, sekarang saya suruh berdiri di depan kelas," tambahnya.

Belakangan dirinya tahu, bahwa anak didik yang kerap membuat onar itu termasuk anak berkebutuhan khusus. "Dia hiperaktif. Kelihatan dalam hal perilakunya, tak pernah mau diam, selalu bergerak dan susah diajak belajar sebagaimana yang lainnya," paparnya.

Ditemui di tempat terpisah, Hasanah Safriyani, Direktur Early Childhood Care & Development Resource Center (ECCD-RC) mengatakan, bahwa masih terdapat sejumlah kekeliruan para orang tua dalam memahami anak yang termasuk berkebutuhan khusus (ABK).

Menurutnya anak hiperaktif merupakan anak-anak yang termasuk memiliki energi berlebih. "Anaknya sangat aktif, lari-lari, loncat, bahkan melakukan tindakan destruktif semisal merusak barang-barang," paparnya di kantor ECCD-RC, Jalan DI Panjaitan, di kawasan selatan Plengkung Gading, Yogyakarta.

Namun dirinya mengingatkan jangan terlalu cepat menilai seorang anak dikatakan hiperaktif hanya karena dia lari kesana-kemari dan loncat-loncat. Perlu diketahui ciri lainnya semisal si anak kesulitan memusatkan perhatian. Dalam istilah medis digolongkan sebagai Attention-Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Biasanya hal ini disertai dengan hiperaktivitas. Mereka seperti tidak pernah kehabisan energi.

Kebanyakan sekarang, para orang tua langsung membatasi perilaku anak. "Melarang bermain lari-larian, loncat atau yang lainnya. Padahal ini salah," tegasnya di lembaga yang juga merangkap sebagai lab-school Rumah Cita (RC) ini.

Anak hiperaktif sebaiknya diberi kebebasan beraktivitas, bukan malah dibatasi. Hal ini dimaksudkan supaya energi berlebih yang dimiliki si anak dapat tersalurkan. Setelah si anak tenang, orang tua baru bisa memberikan permainan lainnya yang lebih tenang. "Tapi harus tetap dalam pengawasan," kata perempuan yang akrab disapa Yani ini.

Jika para orang tua membatasi aktivitas si anak hiperaktif, dalam beberapa kasus yang pernah dialami Yani hampir semuanya berakhir dengan situasi yang lebih buruk. "Si anak biasanya luar biasa ngamuk, menjerit-jerit," katanya.

Yani tidak memungkiri bahwa hingga sekarang masih ada stigma negatif yang dilekatkan pada ABK. "Mereka dibilang tak punya masa depan atau mereka menganggap bahwa hal ini merupakan penyakit menular. Hingga tak heran pernah ada kejadian seorang wali murid tak jadi mendaftar ke sebuah sekolah karena ia berada satu kelas bersama anak hiperaktif," paparnya menjelaskan.

Demikian juga dengan adanya anggapan yang menyamakan anak hiperaktif sebagai anak autis. "Itu salah, tidak semua anak autis itu hiperaktif, begitu pula sebaliknya. Namun keduanya sama-sama merupakan anak-anak yang perlu perhatian khusus dan kasih sayang," papar psikolog yang di sekolahnya RC, anak-anak ABK tidak dipisahkan dari siswa-siswinya yang normal agar ABK dapat belajar dari anak normal dan sebaliknya anak normal dapat menerima ABK sebagai bagian dari kenyataan sosial.

Di lembaga yang dikelolanya, Yani saat ini menangani 10 ABK. "Tapi kami bukan therapis," katanya. ECCD-RC diantaranya menyediakan playgroup, TK, dan TPA. "Kami membantu mereka supaya mudah berkomunikasi dengan teman-teman lainnya," jelasnya.

Diakuinya, sebagian besar orang tua yang datang ke tempatnya, datang dengan berbagai macam keluhan. "Wajar ya kalau capek, apalagi perlu perhatian yang khusus," ungkapnya.

Para orang tua yang datang pun kadang terlalu dini menyimpulkan kondisi anak. Asalkan aktif sedikit, dianggapnya hiperaktif. "Kami tidak sembarangan menilai anak, perlu pemeriksaan psikologis dahulu. Kami baru percaya setelah ada diagnosisnya," papar nahkoda lembaga yang giat mengisi program dan rubrik Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di beberapa media Yogya serta aktif terlibat dalam Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DIY tersebut.

Di akhir perbincangan Yani menjelaskan bahwa orang tua yang sudah terlalu lelah merawat anak hiperaktif, biasanya mencari pengasuh pendamping. Dirinya mengingatkan, supaya benar-benar selektif memilih pengasuh pendamping. "Sudah pasti dia harus sayang terhadap anak, kedua, dia harus mengetahui tentang seluk - beluk anak hiperaktif dan yang paling penting jangan sampai dia memiliki pandangan bahwa anak tersebut dianggap berbeda dengan anak lainnya. Mereka sama, hanya saja perlu perhatian lebih," pesannya.

MySpace Layouts

MySpace Layouts

1 Comments:

Blogger Unknown said...

Ijin share Bu. Terimakasih atas ilmunya 😊

7:24 AM  

Post a Comment

<< Home